Ini sudah rokok ke-dua semenjak word office saya buka untuk sedikit menuliskan tentang pernikahan, dan sampai batang rokok ini hampir habis saya masih juga ga punya sesuatu untuk ditulis. Blank, pernikahan bukan bagian hidup yang sudah saya lewati untuk diceritakan di sini.

Selama ini, 26 tahun, saya cuma menjadi pemerhati dari sebuah pernikahan, yang disusul kemudian oleh dua pernikahan lainnya. Rasanya aneh mengamati dengan cermat, berkomentar, terkadang terkecewakan dengan mereka yang sudah menikah itu, dan dilain waktu ikut merayakan kebahagiannya… ini seperti duduk dibangku cadangan untuk menunggu  giliran “bermain”.

Pernikahan yang saya lihat pertama kali dari “bangku cadangan” ini adalah punya Abah dan Ibu, orang tua saya. Bagaimana awalnya, saya tidak begitu tau ceritanya [ iya lah, saya belum lahir waktu mereka menikah ], yang saya tau Ibu masih sangat muda waktu menikah, masih belasan tahun dan Abah berusia lebih muda beberapa tahun dari usia sekarang, itu saya lihat jelas di photo pernikahan mereka. Ini ga begitu mengejutkan mengingat adalah hal yang biasa bagi orang melayu menikahkan anak mereka di usia muda.

Saya ga punya banyak cerita tentang paruh pertama pernikahan Abah dan Ibu. Cerita pernikahan mereka baru betul-betul saya mengerti saat berusia 10 tahun, saat mengerti kalau pernikahan tidak diciptakan Tuhan untuk sendirian, yap, seperti semua ciptaan Tuhan yang diciptakan berpasang-pasangan, Pernikahan diciptakan bersama dengan perceraian. Saya berusia 10 tahun saat perceraian orang tua saya untuk pertama kali.

Tidak banyak yang saya ingat dari hari itu, yang saya ingat adalah bagian dimana Ibu datang ke sekolah untuk menjemput kami (saya dan adik saya) dengan mata sembab, saya ga tau apa yang terjadi saat itu, cuma dikasih tau kalo kami semua bakal tinggal di rumah nenek mulai hari itu minus Abah dan 2 kakak saya.

Hal yang paling melekat dibenak saya hari itu adalah kata-kata Abah, yang kira-kira berbunyi seperti ini

“Ari, kamu pilih ikut Ibu atau tinggal sama Abah?”

***

                Pernikahan kedua yang saya lihat adalah pernikahan kakak saya yang paling tua, cerita yang saya kagumi selama 5 tahun terakhir ini.

Usia saya 22 tahun, dan jauh dari keluarga. Berawal dari sebuah text message yang meminta saya untuk pulang menghadiri pernikahan dengan banyak seremoni dan makanan. Semua berbahagia, menikmati pesta, satu-satunya yang menangis adalah Ibu, yang melepas satu-satunya anak gadisnya keluar dari rumah.

Kakak menikah di usia 26 tahun, dengan suaminya yang saya panggil “Abang” di-usia yang sama, pernikahan mereka adalah cerita dengan cinta dan kasih sayang, saling menghargai dan bagaimana cara menyamakan persepsi untuk masa depan keluarga.

Saya ga menemukan kalimat untuk menceritakan bagaimana bahagianya pernikahan mereka, selain bagaimana saya ikut merasa bahagia dengan “numpang tinggal” di rumah mungil mereka, dan melihat buah hati mereka tumbuh.

Bagi saya, pernikahan mereka adalah kisah cinta terhebat yang saya pernah tau, seperti sebuah dongeng.

                  ***

                Pernikahan bukanlah “mainan” anak-anak, inilah pelajaran yang saya ambil dari pernikahan ketiga yang saya lihat di-bangku cadangan ini.

Adalah pernikahan kakak saya yang kedua, anak lelaki tertua di-keluarga kami, yang menikah di usia (yang menurut saya) terlalu muda. Bukan cerita yang ingin ada dihidup orang kebanyakan, tetapi inilah cerita yang paling nyata dari sebuah pernikahan.

Apa yang diharapkan dari anak-anak yang bermain permainan orang dewasa? Saya teringat serial kartun doraemon dimana Shizuka seringkali bermain rumah-rumahan dengan Nobita dan teman-teman lainnya, yang sering kali berakhir dengan Nobita menangis dan mengadu ke Doraemon.

Seperti itulah pernikahan kakak laki-laki saya, di isi banyak tangisan dan pertengkaran di-part-part awalnya. Usia mereka yang masih muda dengan emosi masing-masing yang belum lagi matang seringkali saya salahkan setiap kali mendengar pertengkaran mereka.

Aneh rasanya melihat disatu hari mereka bahagia dan di-hari lainnya menyesali pernikahannya. Mereka seperti bermain-main dengan sesuatu yang bagi saya sakral.

Entahlah, yang saya tahu saya ga pernah pingin punya cerita seperti ini.

***

Dan ini rokok kesekian yang menemani saya bercerita di-pinggir lapangan, memerhatikan jalannya pernikahan orang-orang yang saya kenal sangat baik, seringkali berkomentar tentang bagaimana mereka menjalankan permainan, dan mencatat hal-hal penting yang bisa menjadi pelajaran.

Inilah pernikahan yang saya lihat. Adalah sebuah perceraian yang menghancurkan hati, adalah kebahagian yang hati banggakan, adalah pahit kehidupan yang harus hati jalani.

Terus terang, jika saja boleh memilih tentang takdir, saya memilih untuk tidak menikah. Haha… Tapi, seperti yang saya tahu, setiap orang akan bercerita bahwa mereka sendirian saat mati nanti. Jadi, apa salahnya menikah?

Seperti status BBM seorang wanita yang saya kagumi hatinya dari hari pertama menatap mata dan mencium keningnya.

Happines only real when its shared

Yap, saya ga mau mati konyol seperti Christopher Mc Candless di dalam bis ajaibnya. Memilih hidup untuk menikah suatu hari nanti, saya akan melakukannya entah siap atau tidak.

NB : Abah dan Ibu sekarang hidup bersama lagi,  menunggu salah satu mereka mati suatu hari nanti 🙂